Jumat, 25 Maret 2011

Susanto Megaranto

Tahun 2004 boleh disebut sebagai tahun kegemilangan bagi pecatur muda masa depan Indonesia, Susanto Megaranto. Betapa tidak, pada tahun 2004 itu, Susanto meraih gelar Grand Master (GM) dalam Olimpiade ke-36 yang berlangsung di Malorca, Spanyol. Ia pun kemudian mengukuhkan diri sebagai GM termuda di Indonesia pada usia 17 tahun memecahkan rekor gurunya Utut Adianto yang meraih gelar yang sama di usia 21 tahun di Olimpiade 1986 di Dubai, Uni Emirat Arab. Selain itu, Susanto yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Wasdirah (ayah) dan Darsinah (ibu) ini menjadi GM ketujuh Indonesia setelah Herman Suradiredja, Ardiansyah, Utut Adianto, Edhi Handoko, Ruben Gunawan dan Cerdas Barus. Meski prestasinya cukup mengkilap di usianya yang masih muda, Susanto mengaku belum puas. Karena dia meyakini sukses yang diraihnya sekarang baru merupakan tahapan awal menuju prestasi puncak. “Cita-cita saya ingin menjadi juara dunia seperti Anatoly Karpov dan Garry Kasparov,” katanya mengenai obsesinya ke depan. Mengenal catur sejak usia enam tahun melalui ayahnya, Wasdirah yang konon jawara catur di kampung, Susanto sudah memperlihatkan bakat besarnya. Berkat dorongan sang ayah tadi, pada tahun 1995 Susanto masuk ke sekolah khusus catur di Sekolah Catur Enerpac (SCE) milik Ir.Eka Putra Wirya yang bermarkas di kawasan Roxy Mas, Jakarta Barat. Pada tahun 1999 SCE berubah nama menjadi Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) sekaligus pindah home base ke Bekasi, Jabar. Di sekolah catur itu, Susanto tidak sendirian karena ada beberapa anak berbakat lainnya juga ikut belajar dan berlatih permainan catur seperti Taufik Halay, Tirta Chandra dan rekannya yang lebih muda Andrean Susilodinata. Melalui program Dream Team, Susanto dkk digodok secara spartan oleh para seniornya seperti Utut Adianto, Ardiansyah, Edhi Handoko, Ruben Gunawan dan Ivan Situru. Mengingat jarak rumahnya sangat jauh dengan tempat latihan, Susanto rela memenuhi keinginan Eka Putra Wirya, seorang pengusaha muda yang memang dikenal gila catur untuk tinggal di Jakarta. Ketika SCE belum pindah ke Bekasi, Susanto dan kedua orang tuanya dikontrakkan di sebuah rumah di kawasan Grogol yang jaraknya relatif dekat dengan tempat latihan. Lantas, begitu SCE pindah ke Bekasi Susanto dan kedua orang tuanya tadi menetap di asrama SCUA yang kebetulan memiliki beberapa ruangan yang layak dipakai untuk tempat tinggal. Susanto pun kemudian makin getol belajar catur. Hanya dalam kurun waktu dua tahun, Susanto sudah mulai memperlihatkan kemampuannya. Di awali dengan menjadi juara di kejurda 1997 di Bandung, pengorbanan Susanto yang meninggalkan kampung halamannya di Indramayu mulai membuahkan hasil. Sukses kejurda di kota kembang itu ternyata menjadi lokomotif bagi prestasi Susanto. Masih pada tahun yang sama, remaja yang pendiam dan lugu itu menjadi juara nasional KU-10 di Banda Aceh. Pengurus Besar Persatuan Catur Seluruh Indonesia (PB.Percasi) pada tahun itu juga mengirim Susanto ke kejuaraan dunia junior KU-10 di Cannes, Perancis mendampingi rekannya Taufik Halay. Hasil yang dicapai Susanto pun tidak terlalu mengecewakan. Sebagai debutan, ia mampu menduduki peringkat 11 dari 106 peserta . Ada sedikit cerita menarik mengiringi keberangkatan Susanto ke kejuaraan dunia junior KU-10 1997 di Perancis itu. Semula PB. Percasi hanya mengirim Taufik yang memang lebih dulu muncul ke permukaan ketimbang Susanto. Keberhasilan Susanto menjadi juara KU-10 di Banda Aceh itu membuat penasaran PB. Percasi dan pembina SCE. Sebagai ajang pembuktian maka Susanto diadu dengan Taufik untuk duel empat babak. Hasilnya, Susanto mampu bermain imbang 2-2 dengan Taufik dan jadilah remaja kelahiran Indramayu 8 Oktober 1987 ini dikirim ke kejuaraan dunia junior KU-10. Sejak dari Perancis itulah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar