Irene Kharisma Sukandar memang termasuk pendatang baru dalam olahraga catur Indonesia. Mengenal catur di usia 7 tahun tepatnya 1999 lalu, Irene telah memperlihatkan talenta yang luar biasa. Pada tahun 2001 ketika usianya baru 9 tahun, putri pasangan Singgih Heyzkel (ayah) dan Cici Ratna Mulya (ibu)ini sudah berhasil meraih gelar Master Percasi (MP). Setahun kemudian dia memperoleh gelar Master Nasional Wanita (MNW). Dua tahun kemudian yakni pada tahun 2004 ketika berlangsung Olimpiade Catur di Malorca, Spanyol, Irene mulai memperlihatkan tajinya dengan merebut gelar Master FIDE Wanita (MFW). Bukan itu saja, Irene juga meraih medali perak dalam arena yang melibatkan 864 peserta dari 107 negara ini. Awalnya gadis hitam manis ini sempat menekuni olahraga tenis meja. Karena kebetulan ayahnya, Singgih adalah seorang pemain tenis meja. Namun Irene lebih tertarik main catur karena selain gampang dimainkan, olahraga ini juga dapat menambah tingkat intelgensia seseorang. “Saya memang pernah main tenis meja namun saya lebih suka main catur. Lagi pula kakak saya, Kaisar sudah menjadi pemain catur. Ceritanya pada kejurnas catur tahun 1999 di Bekasi, Jabar, tim Sumsel kekurangan
Jumat, 25 Maret 2011
Susanto Megaranto
Tahun 2004 boleh disebut sebagai tahun kegemilangan bagi pecatur muda masa depan Indonesia, Susanto Megaranto. Betapa tidak, pada tahun 2004 itu, Susanto meraih gelar Grand Master (GM) dalam Olimpiade ke-36 yang berlangsung di Malorca, Spanyol. Ia pun kemudian mengukuhkan diri sebagai GM termuda di Indonesia pada usia 17 tahun memecahkan rekor gurunya Utut Adianto yang meraih gelar yang sama di usia 21 tahun di Olimpiade 1986 di Dubai, Uni Emirat Arab. Selain itu, Susanto yang merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Wasdirah (ayah) dan Darsinah (ibu) ini menjadi GM ketujuh Indonesia setelah Herman Suradiredja, Ardiansyah, Utut Adianto, Edhi Handoko, Ruben Gunawan dan Cerdas Barus. Meski prestasinya cukup mengkilap di usianya yang masih muda, Susanto mengaku belum puas. Karena dia meyakini sukses yang diraihnya sekarang baru merupakan tahapan awal menuju prestasi puncak. “Cita-cita saya ingin menjadi juara dunia seperti Anatoly Karpov dan Garry Kasparov,” katanya mengenai obsesinya ke depan. Mengenal catur sejak usia enam tahun melalui ayahnya, Wasdirah yang konon jawara catur di kampung, Susanto sudah memperlihatkan bakat besarnya. Berkat dorongan sang ayah tadi, pada tahun 1995 Susanto masuk ke sekolah khusus catur di Sekolah Catur Enerpac (SCE) milik Ir.Eka Putra Wirya yang bermarkas di kawasan Roxy Mas, Jakarta Barat. Pada tahun 1999 SCE berubah nama menjadi Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) sekaligus pindah home base ke Bekasi, Jabar. Di sekolah catur itu, Susanto tidak sendirian karena ada beberapa anak berbakat lainnya juga ikut belajar dan berlatih permainan catur
Djamil Djamal
Bapak Catur Indonesia Djamil Djamal Telah Pergi |
Sports |
Kehilangan tokoh olahraga nasional kembali terjadi dan kini dialami masyarakat catur Indonesia. Tokoh catur yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk catur semata, Djamil Djamal telah meninggal dunia Selasa (25/9) pukul 04.30 di RS Mintoharjo, Benhil, Jakarta. Jakarta, WASPADA Online Kehilangan tokoh olahraga nasional kembali terjadi dan kini dialami masyarakat catur Indonesia. Tokoh catur yang telah mengabdikan seluruh hidupnya untuk catur semata, Djamil Djamal telah meninggal dunia Selasa (25/9) pukul 04.30 di RS Mintoharjo, Benhil, Jakarta. Pak Djamil, demikian biasa kami memanggilnya, meninggal dalam usia 77 tahun. Beliau berkali-kali jadi Sekjen PB Percasi dan meninggalkan seorang istri (Sabariyah), enam anak (Dani Alfin, Syahjaya, Syahdana, Lisawati, Nursiwan, Syahjohan), 16 cucu dan seorang cicit. |
cerdas barus

Cerdas berasal dari Kabanjahe, Tanah Karo. Tanah Karo dikenal memiliki tradisi melahirkan pecatur-pecatur hebat seperti Si Tumbuk, Narsar Karo-Karo, Merlep Ginting, Dame Panggabean, Monang Sinulingga, Sarwan Ginting, untuk menyebutkan beberapa saja.
Ia mengenal catur pada usia yang boleh dikatakan terlambat yaitu 14 tahun. Catur yang dikenalnya pada saat itu bukan catur ‘biasa’ melainkan catur Karo yang memiliki aturan-aturan yang berbeda. Ia mulai melatih catur biasa dengan lebih intensif ketika keluarganya pindah ke Medan tahun 1978. Di kota ini ia mengasah ketrampilannya dengan pemain-pemain catur kelas nasional seperti David Purba dan Thomas Ginting. Cerdas benar-benar berbakat. Ia mampu mengejar ketertinggalannya dengan cepat. Tahun 1981 ia keluar sebagai juara kedua dalam Kejuaraan Propinsi Sumatera Utara. Dalam keikutsertaannya yang pertama di ajang Kejurnas, di Bandung 1982, Cerdas memperoleh gelar Master Nasional.
Karir internasionalnya mulai pada tahun 1983 sebagai anggota regu kota Medan yang ikut serta dalam Kejuaraan Kota Asia di Hongkong kemudian diikuti oleh Olimpiade Catur di Yunani setahun kemudian. Setelah Olimpiade 1984 ini ia hampir tidak pernah absen dari even-even catur penting Indonesia sampai tahunn 2002.
Ardiansyah
Sabtu, 12 Januari 2008 di 15:03 |

Mengalahkan GM Ardiansyah
TERUS terang, sampai menjelang kuliah tahun 1984, aku sama sekali tidak tertarik dengan permainan catur. Bagiku waktu itu, hanya orang-orang malas dan tidak punya pekerjaan saja yang main catur!
Adalah mendiang ibuku, Ny Enok Suhayah, yang “memperkenalkan” permainan ini, meski hanya sebatas kata-kata. Itu terjadi tahun 1976, saat aku sekolah di kelas 5 SD Ciawi I, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ibu dengan bangga memperkenalkan, katanya saudara-saudara sepupuku lainnya di Garut, semuanya jago-jago catur. Bahkan senior-seniornya yang sudah duduk di ITB, Unpad, maupun AMN, tidak ada yang tidak jago main catur. Tapi ibu tidak juga membelikanku papan catur, dan aku hanya bisa membayangkan salah satu bentuk bidak catur paling eksentrik: kuda.
Masih duduk di kelas enam SD, tahun 1977, ada seorang teman pindahan dari SD lainnya, namanya Mamat. Aku biasa memanggilnya ‘Gan Mamat karena dia anak mantan Camat, tapi masih terbilang saudaraku, karena salah satu anak mantan camat itu nikah dengan paman dari pihak ayahku. Mamat ini memperkenalkan sekaligus “menyombongkan” dirinya sebagai juara catur antar-SD di kecamatannya yang lama. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana hebatnya anak ini.
Tetapi tatkala ada waktu luang saat kenaikan kelas tiba (ke SMP), Mamat menjajal kemampuan caturnya dengan Dadan Hamdani, teman sekelasku juga. Di luar dugaan, Mamat dilumat 2-0! Aku kagum sama Dadan yang tidak pernah berkoar-koar, tetapi mampu menaklukkan juara catur kecamatan. Baru aku tahu belakangan, Dadan dan juga Asep Dedi, juga teman sekelasku, sering ber-sparring partner di kampungnya, Sukamantri. Bahkan Dadan pulalah yang mengajariku notasi catur aljabar, meski waktu itu kutangkap sebagai sekadar tahu saja.
TERUS terang, sampai menjelang kuliah tahun 1984, aku sama sekali tidak tertarik dengan permainan catur. Bagiku waktu itu, hanya orang-orang malas dan tidak punya pekerjaan saja yang main catur!
Adalah mendiang ibuku, Ny Enok Suhayah, yang “memperkenalkan” permainan ini, meski hanya sebatas kata-kata. Itu terjadi tahun 1976, saat aku sekolah di kelas 5 SD Ciawi I, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Ibu dengan bangga memperkenalkan, katanya saudara-saudara sepupuku lainnya di Garut, semuanya jago-jago catur. Bahkan senior-seniornya yang sudah duduk di ITB, Unpad, maupun AMN, tidak ada yang tidak jago main catur. Tapi ibu tidak juga membelikanku papan catur, dan aku hanya bisa membayangkan salah satu bentuk bidak catur paling eksentrik: kuda.
Masih duduk di kelas enam SD, tahun 1977, ada seorang teman pindahan dari SD lainnya, namanya Mamat. Aku biasa memanggilnya ‘Gan Mamat karena dia anak mantan Camat, tapi masih terbilang saudaraku, karena salah satu anak mantan camat itu nikah dengan paman dari pihak ayahku. Mamat ini memperkenalkan sekaligus “menyombongkan” dirinya sebagai juara catur antar-SD di kecamatannya yang lama. Aku sudah bisa membayangkan bagaimana hebatnya anak ini.
Tetapi tatkala ada waktu luang saat kenaikan kelas tiba (ke SMP), Mamat menjajal kemampuan caturnya dengan Dadan Hamdani, teman sekelasku juga. Di luar dugaan, Mamat dilumat 2-0! Aku kagum sama Dadan yang tidak pernah berkoar-koar, tetapi mampu menaklukkan juara catur kecamatan. Baru aku tahu belakangan, Dadan dan juga Asep Dedi, juga teman sekelasku, sering ber-sparring partner di kampungnya, Sukamantri. Bahkan Dadan pulalah yang mengajariku notasi catur aljabar, meski waktu itu kutangkap sebagai sekadar tahu saja.
Utut Adianto Wahyuwidayat (lahir di Jakarta, Indonesia, 16 Maret 1965; umur 46 tahun) adalah seorang pecatur yang sering dianggap sebagai yang terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Ia adalah Grandmaster (GM) Indonesia berperingkat tertinggi di dunia saat ini.
Saat meraih gelar grand master, ia adalah pecatur Indonesia termuda yang berhasil mencapai prestasi ini, yaitu pada usia 21 tahun. Sejak saat itu, prestasi tersebut telah berhasil dilewati pecatur muda lainnya, Susanto Megaranto, yang menjadi GM pada usia 17 tahun. Utut sempat menjadi grand master super pada tahun 1995-1999, saat ELO ratingnya melebihi 2600.
Ia pernah masuk peringkat 100 besar dunia pada Juli 2001 dengan ELO rating 2598. Bersama dengan Machnan R. Kamaluddin, Ir. Eka Putra Wirya dan Kristianus Liem, ia mendirikan Sekolah Catur Utut Adianto pada 1 Juli 1993, yang telah melahirkan beberapa pecatur nasional.
Dari pernikahannya dengan Dr. Tri Hatmanti, ia mempunyai seorang anak bernama Mekar Melati Mewangi
Saat meraih gelar grand master, ia adalah pecatur Indonesia termuda yang berhasil mencapai prestasi ini, yaitu pada usia 21 tahun. Sejak saat itu, prestasi tersebut telah berhasil dilewati pecatur muda lainnya, Susanto Megaranto, yang menjadi GM pada usia 17 tahun. Utut sempat menjadi grand master super pada tahun 1995-1999, saat ELO ratingnya melebihi 2600.
Ia pernah masuk peringkat 100 besar dunia pada Juli 2001 dengan ELO rating 2598. Bersama dengan Machnan R. Kamaluddin, Ir. Eka Putra Wirya dan Kristianus Liem, ia mendirikan Sekolah Catur Utut Adianto pada 1 Juli 1993, yang telah melahirkan beberapa pecatur nasional.
Dari pernikahannya dengan Dr. Tri Hatmanti, ia mempunyai seorang anak bernama Mekar Melati Mewangi
Pranala luar
Langganan:
Postingan (Atom)